Advertisement

Responsive Advertisement

Menerka Manuver Politik Dalam Opini “Ciuman Masal

Oleh : Ilwan Nehe

Jakarta 22 Februari 2017 - Sebenarnya saya tidak mau melibatkan diri membuat opini terkait kejadian baru-baru ini di Nias Selatan, tetapi menarik dibahas ketika kejadian tersebut dikaitkan dengan pemerintahan saat ini. Dari awal saya mengharapkan ada tindakan dari pemerintah setempat untuk segera mengklarifikasi kejadian tersebut supaya tidak menjadi viral berita nasional, tetapi ya sudahlah nasi telah menjadi bubur semuanya telah menjadi perbincangan masyarakat, namun mungkin pihak Pemda Nisel memiliki sikap yang berbeda dengan harapan saya.

Saya melansir dari akun resmi Humas Nias Selatan bahwa tidak pernah mempublikasikan foto ciuman massal sama sekali, dan jika ada yang beredar di public itu berarti tidak merepresentasikan acara tersebut. Artinya, pun apabila ada foto-foto pasangan suami istri hanyalah sekedar cium pipi dan menurut saya itu sah saja karena mereka adalah pasangan yang sah. Kebiasaan cium pipi adalah la bise, dan kebiasaan ini sering dilakukan misalnya ketika baru bertemu dengan teman lama dan sesama perempuan, antara pria dan wanita itu tergantung pada tingkatan kekrabatan, kepada teman dan keluarga biasanya cipika dan cipiki adalah hal yang wajar, namun bagi rekan bisnis hal ini tidak lazim dilakukan.

Logika dasar terkait opini yang menyesatkan adanya Ciuman Massal oleh PNS /ASN menimbulkan pertanyaan bukankan Bupati Hilarius Duha sebelum menjabat Bupati Nias Selatan berprofesi sebagai aparatur negara (Polisi) dan seorang dosen. Dengan diamnya beliau bukankah berarti membenarkan adanya ciuman massal tanpa mengetahui efeknya? Beliau sarjana hukum pidana lohh, pidana !! Saya rasa apabila hal ini bisa dianggap sebagai pembenaran maka ini adalah kegagalan beliau sebagai orang nomor satu di Nias Selatan.

Sikap yang berbeda saya kutip dari akun Save Bawomataluo, yang berpendapat bahwa momen itu adalah multi interprentasi. Dalam penjelasannya Save Bawomataluo menyatakan bahwa foto-foto ini secara keseluruhan tidak ada yang menabrak etika publik, tujuannya positif. Akan tetapi ketika satu momen di share tanpa redaksi yang tepat menjadi berita yang liar apalagi sampai menjadi bahan berita di media sosial, dan oleh tangan-tangan yang iseng dibumbui redaksi yang miring, tandasnya.

Berbeda pandangan dengan Dionisius Wau. Ia berpendapat bahwa “mereka yang berkesimpulan keliru” adalah korban politisasi eks penguasa lama di Nias Selatan, yang telah menyiapkan mesin membunuh karakter di media sosial, sebagai sarana balas dendam politik.

Saya berkesimpulan bahwa momen multi interprentasi digunakan menjadi sarana balas dendam untuk bermanufer politik menggoyang kekuasaan Hilarius Duha di Nias Selatan. Semakin pemerintah setempat menjauhkan diri dari pers dan tidak mengklarifikasi opini menyesatkan tersebut maka masyarakat akan menilai kegagalan pemerintah rezim Hilarius Duha pada masa jabatanya, atau barangkali mungkin beliau berpendapat lain diam itu emas atau jangan-jangan beliau sedang menerapkan pepatah orang Nias yang saya kutip dari akun Marselino Fau sebagai berikut :
Degu-degu bõlasa
Hiyaõ fanumono ya
Alele ya yavfadõsõ

Posting Komentar

0 Komentar