Oleh : Ilwan Nehe
indonesiakita.coTidak terasa, lima tahun kepemimpinan Gubernur di Ibu kota DKI Jakarta memasuki masa akhirnya sebagaimana tercantum dalam kontrak politik, dalam regulasi yang mengaturnya. Mereka dipilih melalui pesta demokrasi dan ditugaskan untuk menjalankan sistem pemerintahan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Mereka dipilih oleh masyarakat yang memiliki hak suara untuk bekerja sebagai pelayan untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui program kerja mereka.
Dinamika kepemimpinan di DKI Jakarta dalam lima tahun terakhir memang berbeda dengan di daerah lainnya. Bukan karena peta kompetisi politik praktisnya ataupun karena daerah otonom khususnya, tetapi karena jejak karir ketiga gubernur yang pernah memimpin dalam satu periode masa jabatan. Pada awalnya, yang terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur pada periode 2012-2017 adalah Jokowi – Ahok.
Namun, Jokowi hanya menjabat selama 15 Oktober 2012 sampai dengan 16 Oktober 2014. Karena Jokowi kemudian terpilih sebagai Presiden, maka pada 19 November 2014 sampai dengan 9 Mei 2017 Ahok diangkat menjadi Gubernur menggantikannya. Lalu, Djarto muncul dan diangkat menjadi Wakil Gubernur mendampingi Ahok.
Namun, karena masa jabatan Ahok berakhir sebelum waktunya, Djarot kemudian naik menjadi Gubernur dengan masa jabatan paling singkat yakni cuma empat bulan, dari 15 Juni 2017 sampai dengan 14 Oktober 2017. Itu merupakan masa jabatan terpendek setelah masa kepemimpinan Gubernur Hendrik Hermanus Joel Ngantung alias Henk Ngantung selama 11 bulan, pada 26 Agustus 1964 – 15 Juli 1965. Selanjutnya, masa kepemimpinan periode 2017-2022 akan dilanjutkan oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Jokowi, dalam karir politiknya memiliki gaya khas tersendiri dalam menarik perhatian publik. Sebut saja, mulai dari jenis dan cara berpakaiannya yang khas dengan kemeja putih dan gayanya yang suka terjun langsung ke lapangan alias blusukan. Tampil tanpa seragam dinas menunjukkan bahwa ia memosisikan dirinya setara dengan masyarakat.
Warna putih kemejanya mencerminkan kesederhanaan sehingga warga merasa dekat dan bisa berkomunikasi informal dengannya. Kesederhanaan pria kelahiran 21 Juni 1961 itu memang tidak banyak dimiliki oleh politisi pada umumnya. Sulit menemukan politisi yang memiliki kerendahan hati dan mau bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Mantan Walikota Solo itu juga tidak banyak bicara. Dia banyak diam dan fokus serta konsisten melaksanakan pekerjaannya untuk menyejahterakan masyarakat dimana dia terikat dalam kontrak politik ketika dia dipilih.
Meski dalam dua tahun masa kepemimpinannya di DKI banyak manuver politik dari kelompok-kelompok warga, namun dia memilih cara ampuh dengan pendekatan persuasif untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Pada 20 Oktober 2017 nanti, Jokowi tepat tiga tahun meninggalkan kepemimpinan di Jakarta dan memainkan peran yang lebih besar dalam politik negeri ini dengan menjabat sebagai Presiden hingga 2019.
Peralihan kekuasaan di DKI bergeser kepada Ahok, wakilnya saat itu, yang didampingi oleh Djarot sebagai Wakil Gubernur yang baru. Siapa yang tidak mengenal pria kelahiran kota Belitung, 29 Juni 1961 itu? Kehadirannya di Ibukota negara ini menjadi ancaman bagi mereka yang sering bermain-main dengan anggaran APBD, yang merugikan keuangan negara dengan mencari keuntungan diri sendiri. Pria yang juga mantan Bupati Belitung itu sontak mendapatkan banyak musuh dan serangan melalui berbagai manuver politik. Tak cuma dari DKI Jakarta, bahkan dari luar DKI Jakarta pun rame-rame ‘mengeroyok’nya.
Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal suami dari Veronika Tan ini. Target mereka melalui aneka upaya pembunuhan karakternya adalah agar Ahok hengkang dari jabatannya. Beberapa kasus yang disasarkan ke Ahok di antaranya kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Belum puas dengan kesejahteraan sosial yang berusaha direalisasikannya, Ahok kembali bertarung di Pilkada DKI Jakarta dengan periode kepemimpinan 2017-2022. Pertarungan kali ini jauh lebih menarik perhatian publik karena berlangsung tidak sehat dan merusak demokrasi. Banyak aktor-aktor politik yang berlindung di balik jargon religi ikut bermain dengan satu tujuan agar Ahok yang berpasangan dengan Djarot tersingkir.
Ahok pun kalah. Tak lama kemudian, seperti sudah diketahui luas, kini Ahok sedang menjalani masa hukumannya di Mako Brimob selama dua tahun karena divonis melakukan penodaan agama terkait pernyataannya mengenai surat Al-Maidah 51 saat bertemu dengan warga di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Ahok didakwa dengan pasal pasal 156 a huruf a dan/atau Pasal 156 KUHP.
Karena terjadi kekosongan kepemimpinan, Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk Djarot menjadi Gubernur definitif menggantikan Ahok. Ketika menjabat, mantan walikota Blitar ini juga terlihat kalem dalam menanggapi berbagai aduan masyarakat Jakarta. Dia menunjukkan kerendahan hati, bisa berempati dengan baik. Selama empat bulan menjabat, pria kelahiran 6 Juli 1962 itu benar-benar bekerja sesuai dengan komitmennya hingga mengakhiri kontrak politik, sebagaimana telah dirintis sebelumnya oleh Jokowi dan Ahok.
Pada 14 Oktober 2017, masa jabatan Gubernur DKI periode 2012-2017 akan berakhir. Banyak orang akan rindu dengan masa-masa ketiga aktor politik yang berhasil mencatatkan namanya dengan tinta emas dalam merealiasikan keadilan sosial di Jakarta.
Ketiga tokoh itu telah menginspirasi banyak orang dan juga mendorong para kaum muda untuk terlibat dalam politik praktis. Mereka menjadi manusia-manusia baru dalam perpolitikan negeri ini. Mengapa saya menyebut mereka sebagai manusia-manusia baru?
Dalam bukunya berjudul Catatan Seorang Demonstran, pernah menulis, sebagaimana pernah dimuat dalam redaksi Kompas, Soe Hok Gie menulis bahwa, “Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah 1945-generasi kemerdekaan Indonesia.” Mereka yang lahir setelah 1945 adalah generasi yang dididik dalam optimisme dan harapan besar terhadap kejayaan Indonesia di masa depan.
Mereka adalah Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat. Dari sekian banyak diskusi saya dengan ketiga politisi ini, saya menyimpulkan bahwa merekalah politisi yang menerangi kegelapan bagi warga Indonesia.
Mereka adalah Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat. Dari sekian banyak diskusi saya dengan ketiga politisi ini, saya menyimpulkan bahwa merekalah politisi yang menerangi kegelapan bagi warga Indonesia.
0 Komentar