Advertisement

Responsive Advertisement

Ancaman Nasional Di Balik Geger Freeport

Oleh : Kajitow Elkayeni

sumber foto. Google.com
 

Sejarah mencatat, operasi intelijen, dalam hal ini CIA (Central Intelligence Agency) berhasil memegang peranan penting dalam percaturan politik Indonesia. Kejatuhan Soekarno bukan peristiwa alami. Ia sengaja dikudeta. Dan tidak cukup di situ, J.F. Kennedy, presiden Amerika waktu itu yang pro Indonesia ikut dibunuh tahun 1963. Mustahil pembunuhan itu tanpa design. Namun bagaimana mungkin negara sekuat Amerika tak mampu melindungi presidennya?
Hal itu karena ada invisible power di balik pemerintahannya. Amerika hakikatnya adalah negara korporasi. Perusahaan trans nasional yang mengendalikan kebijakan pemerintah. Merekalah Paman Sam bagi Amerika, ada tapi tak terlihat. Anasir apapun yang berbahaya bagi negara akan disingkirkan, termasuk presiden. Kekuatan siluman itu sangat perkasa. Mereka dengan mudah mengacak-acak Timur Tengah, Afrika dan wilayah Laut Cina Selatan demi kepentingan ekonomi.
Sejak tahun 1965 (atau jauh sebelumnya), mereka menjadiinvisible power di Indonesia. Setelah Soekarno dan J.F. Kennedy tamat, Amerika menaikkan bonekanya, yaitu Soeharto. Tentu harus ada yang dijadikan kambing hitam. Dan PKI adalah sasaran paling tepat. Di samping karena ia bermusuhan dengan ormas islam dan nasionalis, PKI juga pro Soekarno. Memang tak masuk akal jika PKI hendak mengkudeta Soekarno tempat mereka berlindung. Namun itulah narasi konyol Orde Baru untuk menutupi keterlibatan Amerika.
Ada dua tujuan utama menghancurkan Soekarno. Pertama, demi dominasi kekuatan atas saingan utamanya, Blok Timur yang dimotori Uni Sovyet (sekarang Rusia). Kedua, demi kepentingan korporasi trans nasional yang mengincar gunung emas Papua, yaitu Freeport.
Dosa masa lalu Soeharto ini dimotori oleh intelektual lulusan University of California, Berkeley, Amerika. Mereka yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley. Kelompok ini adalah orang-orang yang disekolahkan oleh Soemitro (bapak Prabowo) dengan bantuan Ford Fondation. Di antaranya Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana.
Di tangan merekalah Indonesia dijual pada Amerika dan sekutunya, dengan pembagian untung sangat kecil. Perusahaan asing itu kemudian leluasa bermain karena UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA) 1967 ternyata didiktekan Amerika di Swiss. Inilah untuk pertama kalinya perusahaan Asing masuk kembali, setelah sebelumnya ditolak Soekarno dengan UU PMA 1961 yang tak menguntungkan mereka. Dan perusahaan paling pertama itu bernama Freeport.
Freeport, dengan anak cabang Freeport Indonesia sudah menambang dua miliar ton lebih bahan tambang di Papua. Dan selama itu mereka diuntungkan dengan perjanjian Kontrak Karya. Ia juga menjadi sapi perah bagi para komprador oportunis di masa lalu. Terutama kroni Soeharto.
Pasca kejatuhan Soeharto, banyak presiden berganti. Namun kita tahu, sampai era SBY sekalipun, kesaktian Freeport tak dapat dikalahkan. SBY di saat-saat terakhir masa jabatannya malah memperpanjang Kontrak Karya langsung dua periode (2021 dan 2041), satu kesepakatan yang tidak lazim. Ia juga mengusulkan perubahan UU Minerba yang dianggap merugikan Feeport.
Bola panas Freeport sampai ke tangan Jokowi. Orang-orang banyak menulis yang manis-manis. Mereka melupakan ancaman besar sedang mengarah ke Indonesia. Keadaan bisa berubah gawat sewaktu-waktu.
Indonesia adalah negara yang berbahaya bagi masa depan Barat. Hampir semua hal dimiliki Indonesia. Jumlah penduduk yang besar, sumber daya alam, kemampuan fisik pasukan militer yang luar biasa, pengaruh bagi dunia (terutama negara terdekat). Jika negara ini mandiri dan bersekutu dengan Blok Timur, Asia Tenggara dapat dipastikan lepas dari genggaman. Ambisi Amerika untuk menaklukkan Asia Tenggara (Laut Cina Selatan), setelah mengacak-acak Timteng akan gagal.
Soeharto, meski ia antek Amerika, pernah mendapatkan embargo dari Amerika tahun 1991. Saat itu Indonesia sangat bergantung pada alutsista Amerika dan sekutunya. Akibatnya kekuatan tempur Indonesia melemah. Alasan embargo itu karena isu pelanggaran HAM di Dili, Timor Timur. Padahal semua itu adalah bagian dari rencana menjadikan Indonesia delapan negara mandiri. Timor Timur telah lepas, Aceh, Papua, dll menunggu.
Namun embargo selama sepuluh tahun itu membuat Indonesia kreatif. Pembelian pesawat tempur mulai beralih ke Sukhoi (Rusia). Indonesia juga telah bekerja sama dengan Korea Selatan dalam pembuatan pesawat tempur mandiri. Pindad melakukan terobosan pembuatan senjata dan armada tempur. Yang mengejutkan adalah modifikasi senapan tipe SPR-2 dengan jangkauan dua Kilo Meter. Jenis ini konon hanya bisa diciptakan oleh empat negara di dunia.
Embargo itu justru menguntungkan Indonesia, ia jadi mandiri dan kreatif. Menyadari hal itu, Amerika mencabut embargo tahun 2005 dan memberikan upgrade kelengkapan pesawat tempur gratis. Amerika kembali memasang muka manis dan bersikap seolah lepasnya Timor Timor di luar kendalinya.
Langkah berani Jokowi menantang Freeport bagai menabuh genderang perang. Freeport secara kurang ajar juga berani menantang balik Pemerintah. Ini tentunya adalah tindakan yang luar biasa untuk ukuran sebuah perusahaan asing. Ada dua ancaman jelas, pertama menempuh jalur arbitrase internasional. Kedua mengancam akan memecat ribuan karyawan. Di luar ancaman itu sebenarnya ada bahaya lain yang bisa mereka gunakan sewaktu-waktu.
Pertama membiayai gerakan separatis di seluruh Indonesia. Kita tahu ada banyak pemberontak berkeliaran di Indonesia. Khusus Papua ada Organisasi Papua Merdeka. Tanpa dukungan Barat, mustahil organisasi ini mampu bertahan sampai sekarang. Amerika dan sekutunya tinggal membesarkan mereka melalui pendanaan masif dan suplai pesenjataan besar. Meski tak mungkin menang, mereka sudah cukup merepotkan Pemerintah. Di saat lengah itulah mereka memasukkan jenis serangan berbeda.
Kedua, mendanai ormas garis keras dan terorisme berkedok agama. Wahabisme berkaitan erat dengan kepentingan Israel dan Amerika. Aliran keras yang berinduk di Saudi Arabia ini adalah biang terorisme berkedok Islam di seluruh dunia. Wahabisme ini telah masuk Indonesia sejak lama, bahkan sejak jaman Imam Bonjol. Sekarang mereka menyusup ke tengah masyarakat berkedok organisasi islam dengan ide pemurnian agama. Mereka telah ada dan menunggu suntikan eskalasi dari Barat. Itu bisa dilakukan secara tidak langsung dengan menyusupkan agen.
Ketiga, mengacaukan ekonomi-politik. Ini adalah jalan paling umum sebelum melakukan langkah keras. Amerika biasanya melakukan metode pengacauan dan pembangkrutan terhadap negara target. Seperti kita tahu, Trump berhubungan erat dengan Fadli Zon dan Setya Novanto. Dalam kondisi tegang, akan terlihat jelas ke mana mereka berpihak. Jika ke depan, oposisi bertingkah makin tak masuk akal, besar kemungkinan itu adalah skenario Barat. Dalam bidang ekonomi bisa ditempuh melalui embargo dan permainan moneter.
Keempat, memberikan tekanan melalui meja internasional. Amerika akan mengerahkan pengaruhnya untuk menekan negara sasaran. Pertama tentu menggunakan embargo. Mereka juga akan menggunakan isu HAM, senjata pemusnah massal, dan kejahatan luar biasa, meski itu hanya bualan saja. Meja internasional akan dibuat percaya, atau dipaksa percaya bualan seperti itu. Persis seperti kisah kelam Irak dan Suriah. Penting sekali untuk merapat ke Rusia atau Cina, karena mereka punya hak veto di dewan PBB. Namun jangan heran jika isu PKI akan kembali disemarakkan, bahkan lebih heboh.
Kelima, referendum. Ancaman ini akan muncul dengan lebih dulu diawali kekacauan. Referendum tidak akan terjadi di masa damai. Papua akan dibuat bergolak. Kabar-kabar bohong akan muncul dengan deras ke luar sana. Isu-isu pelanggaran HAM akan marak. Indonesia akan jadi bulan-bulanan di mata masyarakat internasional. Antek-antek Amerika di Indonesia akan jadi yang terdepan dalam mengaburkan fakta. Para pengkhianat akan muncul dengan dalih kemanusiaan. Padahal kantong mereka dipenuhi pundi-pundi dari Amerika!
Peristiwa di atas memang belum terjadi, tapi pasti akan terjadi jika Freeport mengalami jalan buntu. Mungkin hasil pertambangan Freeport Indonesia tak sebesar tambang lain, misalnya di Cili atau Freeport Amerika sendiri. Namun persoalan Freeport adalah juga mengenai pengaruh Barat, mencegah Indonesia mandiri, memberikan contoh akibat bagi “Musuh Barat” untuk negara lain. Filipina telah dengan tegas menyepak bokong Amerika, jika Indonesia lepas kendali, ini akan jadi pukulan telak. Akan jadi bahaya besar baru di Asia Tenggara.
Negeri Paman Sam itu akan melakukan segala cara, bahkan yang paling biadab sekalipun. Selain ekonomi-politik, mereka juga menyusup dalam bidang kebudayaan. Sastrawan-sastrawan besar dunia pernah bekerja sama dengan CIA. Tugas mereka membaguskan citra Amerika. Membuat karangan indah yang mengubah kebengisan Amerika jadi cerita patriotik. Membelokkan kekalahan Amerika jadi kemenangan dalam bentuk lain, termasuk dalam bentuk film. Seperti Film Rambo sebagai fantasi lain atas kekalahan mereka di Vietnam. Atau serial Sniper untuk menggagahkan prajurit Amerika di Irak dan Afganistan.
Inilah momen krusial bagi Indonesia. Keberhasilan Indonesia untuk bangkit tidak bisa diserahkan hanya pada Pemerintah atau para prajurit di lapangan. Justru harapan terbesar ada di tangan rakyat. Upaya Pemerintah untuk menegakkan undang-undang harus didukung segenap lapisan masyarakat. Indonesia telah masuk tahap awal kondisi genting, mandiri atau terus diperbudak seperti Soeharto di masa lalu. Rakyat harus bersatu, mengurangi konflik, menyamakan tekad untuk keluar sebagai pemenang. Sebagai negara kuat, mandiri, adil dan makmur.
“Wahai para patriot NKRI, bangkitlah, musuhmu sudah menampakkan wajah aslinya. Kepalkan tanganmu dan katakan, mana dadamu, ini dadaku!”
Sumber : seword.com

Posting Komentar

0 Komentar